"WENE WALUG PENGINJIL MATIUS KEPNO

 WENE WALUG PENGINJIL MATIUS KEPNO

(Seorang pemuda lumpuh yang berasal dari Kampung kecil Yarema, Apahapsili ketika di obati oleh Misionaris Bapak Pdt. Helmut Bentz dan misionaris lainnya, pengakuannya seorang "Wene Walug" atau Pembawa Injil Ia di berikan penyembuhan Oleh Kuasa Tuhan Yesus Kritus, sehingga M.Kepno di utus Pendeta (Pastor) Helmut Bentz ke Werengikma, gilika, dan tempat lainnya).


Tulisan ini bersumber dari: IBRAHIM PEYON, Ph.D

(Pernah bapak Peyon, PhD dokumentasikan dalam buku dengan judul "TERANG BERSINAR DI BALIK GUNUNG"

Foto istimewa: Peng. MATIUS KEPNO


Tulisan ini bersumber dari Bapak: IBRAHIM PEYON, Ph.D

(Di ambil dari akun resmi Fecebook "@Ibrahim Peyon")


Pada waktu saya bayi, Engkau bawa Injil ke kampung saya, dan diterima bapak saya bersama teman-temannya di kampung kami. Engkau bersama bapak saya dengan banyak orang lain telah melakukan perdamaian kampung-kampung di wilayah kami. Pekerjaan kalian itu sudah saya rekam dan dokumentasikan dalam bentuk buku, dan video rekaman dan arsipnya simpan di beberapa tempat termasuk VEM dan Universitas Köln di Jerman. Setiap saya ke Apahapsili, engkau selalu temani saya, dan selalu memanggil saya teman, bukan anak atau atau om. Meskipun saya adalah anak-anak kalian dan om dari sisi budaya kami. Engkau selalu menjadi teman cerita, teman diskusi tentang budaya, adat istiadat, sejarh pekabaran injil, dan harapan masa depan kami.  Terima kasih teman, terima kasih semua cerita, dan terima kasih semua pengabdian untuk GKI-TP, untuk suku Yali, suku Mek dan suku Kapauri. 

Seorang pemuda kaki lumpuh, disebuhkan oleh Tuhan Yesus dan menjadi Pioner untuk misi pekaran injil di tiga suku ini. 

Selamat jalan teman dan selamat bertemu Tuhan dan teman-teman seperjuanganmu yang telah pergi duluan.  Hati sedih teman, pasti saya ke Apahapsili, tidak ada teman lagi...

Dalam suatu penelitian tahun 2011 saya mewawancara dan mereka kisah-kisah perjalanan para penginjil GKI-TP di pegunungan, kisah mereka itu saya terbitkan dalam sebuah buku berjudul: "Terang Bersinar di Balik Gunung",. Teks berikut ini adalah kisah perjalanan Matius Kepno. Matius adalah penginjil pertama yang bawa injil ke Werenggik, Mohi, Welarek, Gilika, Baluke, dan terakhir Benawa. Semua kisah perjalanan, perjaungan dan tantangannya dihadapinya termuat dalam kisah ini. 

 


MATIUS KEPNO

 

Lahir di Yarema dari pasangan bapak Waya Kepno dengan ibu D. Wandik. Masa kecil dihabiskan bersama orang tua. Ketika usia remaja ke Wamena dan tinggal di sana. Sekitar tahun 1955 atau 1956 saya terlibat dalam pekerjaan lapangan terbang di Wamena. Ada seorang Amerika yang memimpin waktu itu. Setelah kembali sakit lebih dari satu tahun. Tidak bisa makan dan minum. Selama sakit, orang-orang tidak suka melihat saya tetapi hanya satu orang yang selalu bantu saya. Ketika di rumah saya melihat ada pesawat terbang dengan rendah di wilayah ini. Kemudian orang-orang menjelaskan bahwa Missionaris sudah masuk di Apahapsili.  

Setelah mendengar pendeta Bentz melayani orang sakit saya diantar oleh paman dari saudara laki-laki ibu dengan keponakan dari saudara perempuan ayah. Ketika saya mendapat mengobatan dari pendeta Bentz di Apahapsili. Melihat kesakitan saya sangat berat pendeta Bentz dengan Mansawan membantu saya tinggal dengan mereka. Kedua pemuda itu sudah kembali ke Yarema. Saya ditempatkan di dapur dari Bentz dengan Mansawan. Malam itu karena dingin, Willem Karoba dengan Pilipus dari Kelila antar di salah rumah orang Apahapsili di situ. Tetapi di tengah malam saya diusir oleh orang-orang tersebut dari rumah mereka. Karena itu, saya berjalan dengan merayap kembali ke rumah pendeta Bentz. Pada hari kedua, Kalab adik saya membuat satu kamar kecil di bagian tertentu dari dapur itu.  


Selama di sana saya dirawat secara intensif. Suatu hari pendeta Bentz memberikan makanan: nasi, maling, gornet, dan daging sapi. Tetapi saya tidak makan. Menurut saya ini bukan makanan yang enak. Saya juga tidak bisa makan waktu itu. Karena keronggongan telah tertutup akibat sakit yang terlalu lama. Pendeta Bentz melihat makanan yang telah saya buang, ia menendang dua kali di tangan. Lalu pendeta Bentz membuat secangkir kopi-susu. Dia masih mengawasi saya sampai selesai minum itu. Melihat ini, Bentz kembali membuat satu cangkir susu lagi dan saya pun minum sampai habis. Kali ini saya tidak bisa buang lagi karena sangat takut kepada Bentz. Tetapi, saya menolak kalau makanan itu diberikan oleh orang-orang Papua. Karena warna kulit kami sama maka saya tidak takut mereka. Setelah minum merasa ada perubahan dalam tubuh. Tentu minuman itu memiliki kekuatan besar untuk membangkitkan saya dari sakit yang berat tersebut. Mulai saat itu, saya sudah bisa makan dan minum. Kondisi kesehatan mulai mengalami perubahan sampai benar-benar sembuh. Setelah sembuh tidak kembali ke Yarema. Saya menetap di sini dengan pendeta Bentz dan Mansawan.                   

            

Tantangan Menjadi Kristen 


saya tinggal di sini pada bulan September 1965 sampai tahun 1969.  Kondisi tubuh saya sudah sehat kembali seperti biasa. Selama tinggal dengan Bentz dan Mansawan selalu konsumsi makanan sehat sehingga Kondisi fisik lebih sehat dari yang lain. Pada tahun 1965 sampai 1967  orang-orang Apahapsili belum menerima injil dan menjadi orang Kristen. Karena mereka hidup dengan kebiasaan-kebiasaan lama. Mereka masih melakukan perang dengan penduduk Kulet dan Pong. Orang-orang di lembah ini mulai mengenal Firman Tuhan pada tahun 1968. Waktu itu kami sudah mulai belajar “nare-nare ” dan mengikuti Firman Tuhan yang diajarkan pendeta Bentz, Mansawan dan pemuda dari suku Lanni.  

Selama tinggal dengan pemuda-pemuda Lanni itu saya mulai belajar bahasa Indonesia dengan bahasa Lanni. Saya sudah tahu bahasa Hubula karena pernah tinggal di Wamena. Kemudian saya mulai belajar bahasa Mek dan bahasa Mamberamo selama pelayanan. Jadi, keseluruhan menguasai enam bahasa termasuk bahasa Yali sendiri. Dengan modal bahasa itu, saya selalu menjadi penerjemah antara masyarakat Yali dengan pendeta Helmut Bentz, Mansawan serta pemuda-pemuda Lanni itu. Waktu itu saya sudah mulai belajar ceritera tentang Tuhan Yesus. Lalu mendalami Firman Tuhan sebagai suatu ajaran baru dalam hidup saya. Salah satu yang mengubah hidup saya adalah Sepuluh Hukum Tuhan. Karena Sepuluh Hukum Tuhan ini telah ditulis dalam bahasa Yali oleh pendeta Siegfried Zollner sehingga bisa belajar dengan baik bersama Mansawan. Saya melakukan peran sebagai penatua pembantu waktu itu. Saya juga mampu memberitakan Firman Tuhan. Karena saya belajar setiap hari di rumah.  

Pada tanggal 24 April 1969, bersama pendeta Bentz, Mansawan, saya, Mika, Jones dan beberapa pemuda lain masuk ke Kulet. Pada saat itu orang Kulet dengan Pong masih musuh dengan orang di Apahapsili. Tetapi, kehadiran kami diterima dengan baik oleh masyarakat Kulet. Ketika kembali, kami bawa beberapa orang sakit untuk dikirim ke rumah sakit di Angguruk.

Setelah kirim para pasien itu, Pendeta Bentz, Rumbrar, Mansawan, Yareni bersama lebih 50 pemuda menuju Angguruk melalui Werenggik, Pondeng dan lembah Sibi. Dalam perjalanan ini sekaligus survey awal untuk wilayah di lembah Werenggik dan Pondeng yang masih belum terbuka bagi pekabaran Injil. Kami sudah di kampung Mohi, lebih dari 30 orang dikirim kembali ke Apahabsili. Saya harus kembali karena kaki yang lumpuh mulai terasa sakit. Ketika tiba di Apahapsili, saya menuju ke rumah Pendeta Helmut Bentz. Di sana penginjil Anthon Mansawan dan istrinya sedang menangis. Lalu mereka mengatakan “Matius kamu sudah kembali dengan baik, sedang teman-temanmu yang lain telah terbunuh mati oleh orang-orang Sali”. Dua hari setelah itu, orang-orang Apahapsili melakukan serangan ke kampung Pong dan ada banyak korban di sana.

Pada tanggal 12 Oktobert 1969, saya memimpin orang-orang di Yarema untuk membakar usasum. Pada hari minggu 13 Oktobert orang-orang Yali merencanakan untuk menghukum saya karena telah membakar usasum. Tetapi saya mendapat dukungan dari masyarakat tiga kampung yang telah membakar usasum tersebut. Setelah ibadah, saya berdiri dan menjelaskan isi Sepuluh Hukum Tuhan. Pertama “tidak ada allah lain selain Tuhan Allah” dengan asar itu saya membakar usasum. Kedua, “Jangan menyerupai apapun yang ada di langit dan bumi” dengan dasar itu saya melakukan. Ketiga, “Jangan menyebut nama Tuhan sembarangan”. Dengan ini saya lakukan. Keempat, “enam hari lamanya engkau bekeja hari ketujuh hari sabat” karena itu kami ibadah hari ini. Kelima, “hormati orang tuamu maka hidupmu baik” dasar ini kamu masih sayang saya tetapi mengapa kamu harus menghukum saya. Keenem, “Jangan membunuh” itu kamu sendiri merenungkan. Ketujuh, “jangan berzinah” itu saya taru saja di sini. Kedelapan, jangan mengingini milik orang lain“ atas dasar itu saya lakukan karena mengasihi kamu. Kesembilan “jangan berdusta tentang orang lain” dasar ini saya taru saja di sini. Kesepuluh, “jangan mengabil milik orang lain” dasar itu saya taru saja di sini. Dengan dasar Firman Tuhan di atas saya membakar usasum.

Ketika saya bicara itu, kepala suku Olobok berdiri dan mengatakan bahwa “kami orang Yarema ke sini hanya untuk mau melihat apa yang kamu ingin melakukan terhadap anak muda ini”. Lalu ia berbicara kepada saya, kami hanya mendengar apa saja orang-orang ini lakukan terhadap anda. Apakah mereka ingin mengikat anda atau membunuh. Pernyataan tersebut sebagai makna simbolik untuk memihak Matius. Ketika itu, kepala suku Waya Walianggen berdiri dan berkata kepada anak-anaknya. Kalian bangkit berdiri sekarang dan bersatu dengan Matius teman kamu. Kamu semua bersatu dan mengikuti jalan itu. Itu sebuah jalan kebenaran dan jangan mundur. Ketika itu, Obok, Yawes, Isak, Mika dan orang-orang muda lain bersatu. Melihat tu semua orang di lembah ini bakar usasum dan Injil sudah berkembang di sini.    

Pada 1 Januari 1970,  kami enam orang diutus ke Angguruk mengikuti Sekolah Alkitab angkatan pertama. Kami semua 12 orang sesuai dengan murid Tuhan Yesus dulu. Kami dari apahapsili saya, Yakub Kosay, Manase Kepno, Amsan Wandik, Yunus Walilo dan Timeus Walianggen. Mereka dari Angguruk adalah Yakob Kabak, Mesak Kabak, Setep Sama, Uria Sama, Ruben Yual dan Pintelu Suhuniap. Kami sekolah selama satu tahun. Pada bulan Januari 1971 kembali ke Apahapsili dan langsung mengikuti kategisasi untuk pembaptisan pertama pada tahun 1972. Pada tanggal 13-14 Januari 1972 kami enam orang lulusan sekolah Alkitab di Anggruk itu dibekali secara khusus. Pada 15 Januari kami ditugaskan ke kampung-kampung. Waktu itu pendeta Bentz mengatakan, saya akan dikirim ke Werenggik dan Pondeng. Saya mengatakan bersedia berangkat ke sana. Pendeta Bentz bertanya: “Apakah Matius bersedia untuk masuk ke kampung Sali dan membaptiskan mereka? Lalu, saya mengatakan  bersedia dan siap membaptiskan mereka dalam nama Allah Bapak, Allah Anak dan Allah Roh Kudus”.

Menjadi Penyiar Injil

Sebelum saya diutus ke Werenggik, Palu Peyon mengirim dua orang utusan dari Werenggik yaitu Yerumbalik Yuhame dengan Yahabuluk Hompusabon ke Apahapsili. Mereka datang mengundang misionaris ke Werenggik. Pada 6 Nopember, kedua utusan tersebut bertemu dengan pendeta Bentz. Pendeta menjelaskan kepada mereka bahwa ada seorang utusan yang telah dipersiapkan untuk masuk ke lembah Werenggik dan Pondeng.

Pada 7 November 1972 saya dipanggil oleh pendeta Bentz untuk bertemu dengan orang-orang Werenggik itu. Saya mengatakan kepada Bentz bahwa saya bersedia berangkat ke lembah Werenggik. Pada 8 November, pendeta Bentz, saya dengan dua orang Werenggik ke Landikma untuk menghadiri upacara pembaptisan pertama. Pada 12 Nopember, kami melakukan doa bersama di Apahapsili. Pada 13 Nopember kami menuju ke lembah Werenggik. Pada 15 November 1972, kami masuk di Halialo, lembah Werenggik. Peristiwa tersebut diperingati sebagai hari pekebaran injil di lembah Werenggik. Saya diterima oleh Palu, Senilek Aliknoe dan Abisa Aliknoe serta seluruh masyarakat di daerah itu. Hari kedua mereka bangun rumah saya dengan satu rumah panjang sebagai tempat ibadah.

Selama satu minggu di sini, saya terima satu surat dari Pdt. Adam Roth dari Panggema. Dalam surat itu menyatakan Matius dipanggil oleh Helmut Bentz ke Mabualem. Ketika saya ke Mabualem pendeta Bentz menunggu di sana. Kemudian saya diutus ke kampung Mohi hilir sungai Werenggik. Penginjil Yareni dengan penatua Wandik diutus ke Werenggik. Karena masyarakat Werenggik dianggap sudah menerima Injil dengan baik. Saya sendiri ke Mohi. Pada waktu itu orang Mabualem dengan Mohi masih perang. Saya mengalami kesulitan ketika tiba di sungai karena arus sungai sangat besar. Beberapa kali saya buat jembatan tetapi dibawah arus. Karena itu saya berdoa dan berhasil membuat jembatan itu. Ketika saya tiba di Mohi tidak ada seorang pun di situ. Hanya satu orang saja duduk di dalam rumah. Antengbalek Walilo namanya. Orang ini takut saya karena ia duduk sendiri. Tetapi ada seorang perempuan yang telah melihat melaporkan kepada Balekanggemon Kepno. Bahwa ada seorang muda yang berpakaian lengkap ke Mohi. Orang itu tidak seperti orang Mabualem. Karena orang Mabualem hanya memakai baju di badan saja tanpa celana. Ketika Balekanggemon masuk di kampung sementara saya masih duduk di rumah. Balekanggemon mulai merangkul saya lalu menis. Kemuidan ia keluar memanggil orang-orang Mohi. Mereka berpikir apakah ia dibunuh pihak musuh? Ketika orang berkumpul Balekanggemon menjelaskan bahwa “waktu lalu kami dengar Matius ada di Werenggik. Tetapi orang mengutus dia ke sini hari ini. Di kampung ini sekarang tidak orang lagi. Karena mereka sudah dibunuh pihak musuh sementara yang lain mengungsi ke tempat lain. Apa yang kami mau kasih sehingga engkau mencari kami ke tempat yang jauh ini. Karena itu saya menangis”. Kemudian mereka terima saya dengan menangis.  

Dua tahun lebih melayani jemaat di wilayah itu. Pada 24 Desember 1974 saya dengan Palu peyon sepakat untuk melakukan upacara perdamaian. Perdamaian ini melibatkan masyarakat dari semua kampung di lembah Werenggik dan Pondeng. Banyak orang hadir termasuk orang-orang dari lembah Sibi, Tanggiam, Membaham, Serekasi sampai Konosa. Kegiatan dilakukan di Poik. Waktu itu salah satu lagu yang dinyanyikan oleh masyarakat untuk saya, sebagai berikut:

wilim ke wahi-wahi ooo...

fare ke wahi-wahi ooo...

nion Matius ooo...

ke hiyag nisimin ooo...

nion hun Kepno ooo ...

wene hiyag nusumug ooo ... 

Sesudah mereka menyanyikan lagu itu, saya membalas mereka dengan menyanyikan lagu berikut ini:

Sali hinap honolog ponolog hinap ooo...

Punui hinap honolog ponolog hinap ooo...

Ip tuan watug hinap ooo...

Ap tuan watug hinap ooo...      

Waktu itu saya menyatakan jemaat baru ini telah mengakui kehidupan masa lalu kemudian mereka menerima Injil dan Yesus Kristus. Mereka menerima Injil sangat cepat. Karena itu bersama Yawes Walianggen melakukan pembaptisan di seluruh daerah itu di Seherek. Tetapi Mohi tempat saya bertugas berbeda. Mereka menolak untuk dibaptiskan. Mereka menuntut, saya harus membuka suatu lapangan terbang di wilayah mereka. Pesawat harus turun dengan membawa Roh Kudus di kampung mereka lalu mereka akan dibaptiskan. Sebelum mereka melihat pesawat tidak mau dibaptisan. Mereka pikir Roh Kudus itu sejenis makanan. Maka pada 8 Juni 1976, saya memimpin masyarakat Mohi mulai buka lapangan terbang di Welarek. Lebih dari sembilan tahun melayani di jemaat ini.

Suatu hari saya pergi ke hilir sungai Yahuli di wilayah orang Mek. Itu dalam tahun 1974. Menurut ceritera orang Mohi, di daerah itu ditempati suatu komunitas yang disamakan dengan manusia terbang. Selalu saya dengar cerita itu. Karena itu, saya ingin melakukan survei ke wilayah tersebut. Selama dua hari melakukan pengamatan di sana. Tetapi saya tidak menemukan seorang pun. Lalu saya kembali ke Welarek. Beberapa bulan kemudian saya kembali lagi ke sana. Kali ini pergi lebih jauh ke hilir lalu naik di sebuah gunung. Ketika di gunung itu saya melihat sebuah kebun dengan ada beberapa rumah penduduk. Lalu saya kembali ke Welarek dan mengumpulkan 40 orang Yali. Bersama 40 orang ini kami berangkat ke Gilika. Sudah dekat kampung, orang Gilika serang kami dengan panah. Karena itu kami memutuskan untuk kembali ke Welarek.

Hal itu kami laporkan kepada pihak gereja. Maka menjadi perhatian tingkat Sinode dengan gereja-gereja mitra di Jerman. Pada tahun 1976, pendeta Sabrobek dari Sinode GKI, guru Rumbrar, penginjil Step Manufandu, Zeth Noriwari, kepala suku Yalabik Peyon, pendata Naftali Nauw dengan pemuda Yali 31 orang menuju Gilika. Kami bermalam di tengah hutan. Malam itu saya bermimpi bahwa kami diusir oleh orang Gilika. Ketika saya menceritakan mimpi tersebut pendeta-pendeta itu mengatakan Matius kamu sama dengan cerita Yusuf dalam alkitab. Lalu mereka sangat marah. Setelah pagi kami berangkat menuju Gilika. Ketika kami masuk dekat kampung Gilika sekali lagi masyarakat Gilika serang kami. Para pendeta dan penginjil asal Jayapura, Biak dan Sorong semua mengundurkan diri lalu kembali ke Welarek. Sedang, kami orang Yali tetap bertahan di hutan sekitar Gilika. Kami mengamati kemungkinan untuk masuk ke Gilika. Kami tidur terpencar di bawah pohon-pohon di tengah hutan. Hari ketiga masih tetap mengamati situasi tetapi tidak memungkinkan untuk masuk. Karena itu kami kembali ke Welarek. Pendeta Klaus Reuter sementara menunggu kami di Welarek. Ketika saya tiba, Naftalis Nauw dengan Step Manufandu sangat marah. Karena saya dengan pendeta Klaus Reuter dianggap memaksakan mereka untuk masuk ke Gilika. Mereka mengkatakan: “Matius membiarkan orang-orang itu hidup sebagai iblis. Tidak boleh membuat mereka menjadi manusia yang mengenal Kristus”. Sebagai perdamaian, saya menyediakan satu ekor babi untuk makan bersama dengan mereka. Setelah itu kembali ke tempat tugas masing-masing.

Saya masih berjuang terus selama tahun 1976 sampai 1981. Selama masa ini, sering masuk keluar hutan di wilayah sekitar Gilika. Saya sering bertemu orang-orang Gilika tetapi sebatas melihat saja dari kejauhan. Saya tidak bertemu mereka secara langsung. Pada tanggal 1 April 1982, saya, Step Manufandu, Yosua dengan Sabalek menuju Gilika. Selama tiga hari tanpa makan kami mengelilingi hutan di sekitar Gilika. Sudah malam kami tidur dibawah pohon dengan menutup beberapa daun-daunan. Pada tanggal 4 April kami berdoa lalu sepakat hari ini harus masuk ke Gilika. Setelah berdoa kami naik ke sebuah gunung lalu memantau situasi. Dari kejauhan terlihat asap hitam gebal keluar dari sebuah pondok kecil yang terletak di dekat sebuah kebun. Di pondok ini terlihat ada beberapa pemuda yang sedang masak makanan. Melihat itu saya langsung menuju ke pondok tersebut. Sementara Step, Yosua dan sabalek tetap bertahan di gunung.

Saya mengatakan, “apabila mereka bunuh saya berarti kalian bertiga harus kembali ke Welarek”. Saya langsung menuju di samping pondok itu, kemudian duduk di pinggir api di halaman pondok tersebut. Orang-orang Gilika itu setelah melihat saya sementara duduk, mereka berkata: “tuan orang Yali ini datang duduk di pinggir api. Kalau mereka datang melalui jalan besar kami selalu mengejar dan mengusir mereka dengan panah. Tetapi, kali ini orang Yali itu masuk melalui hutan. Apakah kita harus bunuh dia?”. Orang-orang Gilika itu setelah makan, mereka melemparkan sampah makanan itu kepada saya. Lalu mereka meludahi saya. Saya masih tetap duduk di tempat itu. Melihat saya duduk sendiri Step Manufandu datang duduk di samping saya. Lalu saya bertanya kepada Step, Step mengapa kamu turun ke sini? Lalu Step mengatakan, saya datang karena mengasihi engkau, Matius. Saya akan tetap bersamamu. Tidak lama kemudian Yosua dan Sabalek datang duduk di dekat kami.

Melihat kami duduk, orang-orang Gilika itu lari menuju ke kampung mereka. Kami pun mengikuti orang-orang Gilika itu. Kami berlari saling kejar mengejar sampai tiba di kampung. Orang-orang Gilika itu langsung melombat masuk ke dalam rumah laki-laki mereka. Kami juga langsung melombat masuk ke dalam rumah itu. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut orang Gilika maupun kami. Kami semua diam. Kami tidak diberi makan dan minum sampai pagi. Karena mereka rencana akan membunuh lalu memasak daging kami untuk dimakan.

Selama dua hari kami bertahan di sini tanpa makan. Pada hari kelima Step Manufandu merasa sangat lapar. Karena tidak bisa bertahan rasa laparnya mengambil beberapa daun pakis lalu direbus dalam belanga kecil yang kami bawa. Sementara merebus itu, seorang Gilika mendekati Step lalu berkata: “tuan apakah matamu buta sehingga tidak bisa melihat? Di gunung Sukun di sana sudah mulai hujan. Karena itu engkau tidak boleh masak sayur itu” Artinya, janganlah kamu masak makanan itu sebentar lagi orang-orang Gilika akan membunuh kamu, memasak dan makan daging kamu. “Tuan dimanakah istrimu? Apakah istrimu tidak membawa makanan untuk kamu makan sehingga kamu harus masak makanan daun-daun liar ini?” Step setelah melihat mimik wajah dari pria itu, Step mengambil parang lalu mengejar orang Gilika itu. Lalu seorang Gilika itu menghilang di kerumunan pepohonan. Pada tanggal 9 April, kami berdoa, ”Tuhan sesuai dengan rencana-Mu, kami berada di sini dan Injil-Mu bertumbuh di tempat ini maka Engkau memberikan kami siang ini seorang Gilika”. Setelah kami berdoa, pada siang hari itu, seorang Gilika datang dengan penuh senyum dan sambil tertawa. Mukanya sangat ceriah. Orang itu bernama Dundubulungi Ouk. Ia datang dengan membawa berbagai jenis makanan, seperti pisang masak, ketimun, tebu, keladi, petatas, bete dan sagu. Orang itu setelah tiba, langsung mengeluarkan makanan dari nokennya lalu memberikan pisang masak, ketimun dan tebu kepada kami. Sementara, istrinya mengolah papeda dan makanan lain. Orang itu berdiri dan melarang masyarakat untuk membunuh kami. Karena tuan-tuan orang Yali sudah tidur beberapa malam di rumah. Karena menurut budaya bila orang sudah tidur di dalam rumah dilarang untuk dibunuh.

Besoknya saya meminta sebidan tanah untuk membangun rumah. Ini tepat tanggal 10 April. Dundubulungi berunding dengan masyarakat kemudian memberikan sebidan tanah. Kami bersama Dundubulungi dan istrinya mulai membangun rumah itu. Pada siang itu juga kami kirim SSB ke Welarek minta tenaga. Pada tanggal 12 April pukul 7.00 telah tiba 21 pemuda Yali dari Welarek. Pada siang itu makanan dari Apahapsili dan Anggruk dikirim ke Gilika melalui udara. Setelah lapangan terbang dibuka, Gilika menjadi pusat pelayanan di wilayah itu. Setelah itu kami mulai buka kampung-kampung di sekitarnya. Pembaptisan pertama dilakukan dengan Pendeta Tometten.

Pelayanan sementara dilakukan orang Masalinang membunuh dua orang Paluke. Lalu orang Paluke membunuh seorang pemuda dari Masalinang. Karena peristiwa itu, saya harus berangkat ke Masalinang dan Paluke menggunakan helikopter Mision untuk mengamankan mereka. Kemudian sebagian dari penduduk Paluke dipindahkan ke Benawa dekat lembah Mamberamo. Karena itu, saya harus masuk ke lembah Benawa mulai membuka di daerah itu. Membuka isolasi daerah tersebut Kami minta tenaga orang-orang Yali dari Angguruk, Pronggoli, Panggema, Welarek dan Apahapsili ke Benawa dan buka lapangan terbang di Benawa. Setelah semua itu beberapa tahun lalu saya kembali ke Apahapsili.


Dokumentasi-dokumentasi 


Doa berkat di Tuggu Pekabaran Injil Apahapsili


Tete Wene Walug bersama Ketua Rayon Apahapsili
(Foto bertempat di Pasar Apahapsili Induk)

Foto istimewa: Tete Wene Waluk. Peng. Matius Kepno
duduk santai bersama masyarakatnya.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BARANGKALI BUKAN HARI INI, BARANGKALI BUKAN HARI ESOK ATAU BUKAN BULAN DEPAN TETAPI SATU HAL YANG BETUL SATU HARI SAYA AKAN MENJADI JUARA SATU HARI NANTINYA SAYA PERCAYA.

KUNJUNGAN BAPAK DPR-PROVINSI TINUS PEYON, S.M KE HIMPUNAN MAHASISWA KABUPATEN YALIMO (HMKY) SE-JABODETABEK DAN BANTEN 2025